Rabu, September 23, 2009

Leonardo, The Hunter, dan Il Nuovo Diavolo Rossi

Semua Milanisti di dunia pasti sedang resah dan gelisah. Setelah tsunami di musim panas kemarin, Milan berusaha keras untuk memulihkan diri. Seperti yang diketahui oleh semua orang, musim panas lalu dua orang yang menjadi sosok yang sangat iconic bagi Il Diavolo Rossi pergi meninggalkan Milanello dengan dua alasan berbeda.

Ricardo Izecson dos Santos Leite, yang lebih sering disebut Kaka saja, bermigrasi ke kamp Valdebebas untuk menjadi anggota Los Galacticos Real Madrid. Sedangkan Il Bandiera Rossoneri, Paolo Maldini memutuskan pensiun, hal yang wajar mengingat betapa rentanya Signor Maldini untuk ukuran atlet profesional (sepakbola, kalo atlet catur sih terserah aja mau pensiun usia berapapun...). Belum cukup keguncangan tersebut, Carletto "Carlo" Ancelotti memutuskan untuk mengiyakan ajakan Roman Abramovic untuk menangani Chelsea.

Hilangnya tiga personel inti Milan (pelatih, playmaker, dan leader utama) sangat sukses membuat para Milanisti was-was dan gundah. Awan mendung di atas Milanello seakan-akan enggan pergi. Berturut-turut para pemain incaran lepas dari cengkeraman si Setan Merah (versi Italia).

Dari kasus Aly Cissokho yang aneh (karena batal bergabung hanya karena giginya tonggos. C'mon! Sudah liat giginya Ronaldo de Assis/Ronaldinho kan?), enggannya Wolfsburg melepas Edin Dzeko, lalu cemoohan bos Sao Paulo (ato Santos? Lupa deh) yang menertawakan Milan saat hendak menawar bek Miranda dan memilih untuk bernegosiasi dengan klub Spanyol yang lebih kaya dan mencemooh Milan yang dianggap "fakir miskin". (Emangnya klub Spanyol mana, Pak? Barcelona jelas lebih memilih cantera-nya. Madrid nggak akan mengambil Miranda untuk Los Galacticos Project. Valencia? El Che kan lebih miskin dari Milan sekarang...), lalu Sevilla yang membatalkan negosiasi Luis Fabiano karena Milan terlalu pelit.

Tapi ternyata Project Los Galacticos membawa berkah. Selain dari duit transfer Kaka, Madrid akhirnya bersedia melepaskan Klaas-Jan Huntelaar. Pemain yang dijuluki The Hunter ini akhirnya menjadi pemain yang datang ke Milan musim ini dengan biaya transfer. Sebelumnya Oguchi Onyewu diikat secara free-transfer. Dan Thiago Silva sudah diikat musim semi lalu. Sebagian Milanisti berharap bahwa The Hunter akan bisa meneruskan kehebatan Marco Van Basten.

Dan kapten baru Milan adalah Massimo Ambrosini. Pemain blonde yang akrab disapa Max ini dipilih karena Milan menganut senioritas. Dan Max adalah pemain tersenior, excluding Seedorf, Inzaghi, dan Kaladze. Tersenior disini adalah durasi dia mengenakan jersey Merah Hitam. Apakah dia pantas? Hmmm....opiniku sih tidak. Dia tidak banyak menampilkan kualitas pemimpin saat beraksi. Menurutku yang pantas adalah Alessandro Nesta. Sayang dia kalah lama bergabung dibandingkan Max dan Rhino Gattuso.

Lantas siapa yang menggantikan Don Carlo? Ternyata berlainan dengan spekulasi awal yang menjagokan mantan punggawa Milan yang menganggur, seperti Frank Rijkaard dan Marco van Basten, manajemen Milan memilih mantan sayap kiri dan direktur tekniknya, yaitu Leonardo Nascimento de Araujo.

Bisakah Leonardo? Banyak yang pesimis. Hasil pramusim sangat tidak menggembirakan. Apalagi ditambah fakta bahwa Leonardo baru saja memperoleh lisensi kepelatihannya musim ini. Hal yang tidak wajar. Biasanya pelatih2 di Serie A menapak karir dari divisi sangat bawah. Contohnya Carlo Ancelotti sendiri yang sukses mengangkat Reggiana ke Serie A, lalu direkrut Parma, lalu Juventus, sebelum akhirnya menjadi alenatore terlama di Serie A di Milan. Ciro Ferrara juga menapak dari Bari di Serie B sebelum ditunjuk menukangi Juventus musim ini. Mungkin manajemen Milan terpengaruh euforia kesuksesan Josep "Pep" Guardiola yang di tahun pertamanya di Barcelona mempersembahkan treble. But can Leonardo deliver? For now, "no" seems to be the correct answer. Although I admit, it's too early to judge.


Leonardo bukanlah Ancelotti. Ancelotti saat menjadi pemain AC Milan berfungsi sebagai sayap kanan kreatif yang mampu meracik serangan. Sedangkan Leonardo saat membela Milan adalah sayap kanan yang cenderung menjadi forward. Mungkin terlalu naif membandingkan keduanya berdasarkan posisi mereka saat menjadi pemain. Tapi kesuksesan Pep adalah karena saat aktif menjadi pemain Barcelona, Pep adalah gelandang bertahan yang mengawali serangan (mirip dengan Xabi Alonso atau Andrea Pirlo. Istilah kerennya "deep playmaker").Selain itu, Pep sudah berpengalaman melatih, walaupun hanya tim Barcelona B. Setidaknya dia paham akan beberapa aspek pelatih yang tidak akan dirasakan oleh orang yang baru pertama kali menjabat sebagai pelatih kepala sebuah tim profesional (apalagi di klub kaliber raksasa macam Milan).

Leonardo masih belum mampu mengatasi tekanan. Saat tim dibobol, Leonardo terlihat memucat wajahnya. Selain itu, kemampuannya mengubah alur permainan juga masih belum teruji. Seorang pelatih dalam 90 menit harus memiliki "Plan B" jika taktik dan formasi utamanya macet tidak berfungsi. Leonardo masih berusaha keras mengatasi sindrom "no second plan"-nya. Lumayan berhasil. Setidaknya Marseille sudah merasakannya.

Bukannya mau meremehkan Leonardo. He showed some potential there. But he just need a longer period to learn before he gets the hang of it. Selain itu, The Hunter juga belum nge-klik dengan rekan2nya. Dan si dewa mabuk Ronaldinho berulah lagi. Silvio Berlusconi dan Adriano Galliani berharap banyak pada si dewa mabuk ini (I nicknamed him the drunken lord not because he's getting better when he's drunk, like Jackie Chan in Drunken Master, but because of his habitual drinking hindered him from performing his best talent), tapi si dewa mabuk ini bener menjengkelkan dan tidak bertanggung jawab.

Sudah baca berita bahwa Ronaldinho bermabuk2an di pusat kota Milan di sebuah pesta? Dan saat beberapa Milanisti yang kebetulan juga hadir menyuruhnya pulang karena besok pagi di kamp Milanello ada latihan, dia malah marah2? I mean, what kind of professional athlete is that? D'oh (Homer Simpson mode on).


And lastly, can we do something about Clarence Seedorf? He's sucks as hell. His performance is as consistent as rollercoaster on highest speed. We need consistency and stability. Two things that seldom showed by this dutch. Sure, he was once a great and talented player. But that was centuries ago.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar