Jumat, September 04, 2009

Kejutan 30 Juli : A Harry Potter Fanfiction

Disclaimer: Semua milik JKR, Warner Bros, dan Bloomsbury, kecuali karakter Joe
Rating: PG-13
Genre: drama, romcom, humor
Note: Aku nggak yakin ini AU apa nggak, tapi ini jelas canon

Kementerian Sihir, London, 31 Juli, jam 15.23

"Potter! Kubunuh kau!", raung Phillip Devlin dari seberang ruangan.

"Silahkan saja," jawab Harry acuh tak acuh, seakan ancaman Devlin adalah rutinitas kantor,"aku toh perlu olahraga setelah belakangan ini cuma ongkang-ongkang kaki di belakang meja."

Devlin mengeluarkan tongkat sihirnya dan bersiap menyerang Harry. Sayangnya, karena lawannya adalah salah satu Auror terbaik Kementrian, saat tongkatnya baru separuh terangkat, Harry sudah menodongkan tongkatnya persis lima senti di depan hidung pegawai Departemen Permainan Sihir Kementerian Sihir itu.

"Nah, Mr Devlin," tanya Harry sambil tersenyum lebar,"bagaimana dengan ancaman anda tadi?"

Phillip Devlin hanya menggerutu, dan teman-temannya tertawa, termasuk sepasukan Auror di belakang Harry.

Sebenarnya apa yang terjadi di Kementerian Sihir sehingga Harry menerima ancaman pembunuhan dari rekan sekantornya itu? Ceritanya berawal dari sebulan yang lalu.


Anindya's, London, 5 Juli, sekitar jam 8 pagi.


Restoran masakan Indonesia di dekat Hyde Park itu sebenarnya belum buka jam 8 pagi. Tapi Joe si pemilik kaget saat datang ke restorannya dan menemukan seorang pemuda berkacamata dengan setelan kantor rapi sedang duduk membaca The Times.

"Halo, Joe!" sapa pemuda itu.

Darimana dia tahu nama panggilanku? Apa dia pelanggan lama? pikir Joe. Dia lalu melirik ke pegangan pintu masuk restorannya. Tidak ada tanda pendobrakan paksa, pikir Joe heran, lalu bagaimana caranya dia masuk? Dan kenapa alarmnya nggak bunyi?

"Jangan khawatir, Joe. Aku bukan penjahat. Aku masuk dengan sedikit sihir," ujar pemuda itu, seakan-akan dia bisa membaca pikiran Joe.

"Ah, jadi anda pesulap?" tanya Joe.

"Semacam itulah," jawab pemuda itu sambil nyengir lebar. Sebenarnya dia mengatakan dia masuk dengan magic, yang punya dua arti, sihir dan sulap.

Joe kemudian berjalan ke dapur dan memasang celemek kerjanya, dia punya firasat bahwa pemuda itu bukanlah orang jahat. Lagian kalau dia orang jahat, pasti nggak akan menunggunya datang dan menyapanya kan?

"Joe, punya menu sarapan, tidak?" tanya pemuda itu, "Butler-ku sedang cuti hari ini, dan aku kelaparan sebelum berangkat kerja."

"Ada, Sir. Anda mau nasi liwet khas kota Solo?" tawar Joe.

"Bolehlah."

Joe kemudian menyiapkan nasi liwet dan si pemuda melanjutkan membaca The Times. Tapi saat Joe melirik ke pemuda itu, nampak jelas kalau dia sedang gelisah. Duduknya tidak tenang, matanya tidak fokus pada satu artikel pun di koran tersebut, dan cara membalik halamannya pun dengan tergesa.

"Anda sedang ada masalah, Sir?" tanya Joe saat menghidangkan nasi liwet dan secangkir kopi ke pemuda itu.

"Ah, makasih. Yah, begitulah," jawab Harry sambil mulai menyantap sarapannya.

Joe sudah di dapur saat pemuda itu memanggilnya lagi. Dia berjalan menghampiri si pemuda itu. Sarapannya sudah ludes dalam sekejap.

"Joe, kamu sudah menikah belum?" tanya si pemuda itu keluar dari biru (maksudnya out of the blue). Joe agak terhenyak mendengar pertanyaan si pemuda itu.

"Maaf Sir, sebelum saya memberikan jawaban, bisakah anda memberitahukan kepada saya nama anda, karena saya sama sekali tidak dapat mengingat anda dan nama anda," elak Joe sambil mengulur waktu.

"Oh, my name is Potter. Harry Potter," jawab si pemuda sambil tersenyum.

Emang dia saudaranya James Bond, sampai cara memperkenalkan dirinya pun sama? pikir Joe sambil menjabat tangan Harry.

"Well, Sir. Sebenarnya saya belum menikah sama sekali, walaupun saya sekarang berumur 29 tahun. Orang tua saya di Indonesia juga sudah berkali-kali menanyakan kepada saya kapan saya akan menikah. Yah, belum ada jodohnya mungkin," kata Joe sambil tersenyum.

"Oh begitu. Yah, sebenarnya aku hendak melamar pacarku. Cuma aku nggak begitu tahu cara yang tepat melamarnya. Perempuan kalau hal-hal beginian kan sensitif. Mereka inginnya dilamar secara romantis, sedangkan aku sama sekali nggak romantis. Aku lebih suka menghadapi naga daripada harus menghabiskan semalam suntuk ber-candlelight dinner."

"Hmm..apakah pacar anda tahu tentang preferensi anda itu? Tentang 'lebih baik menghadapi naga daripada candlelight dinner bersamanya'?" selidik Joe.

"Yah, dia sih sudah tahu. Tapi tahu sendiri kan perempuan itu bagaimana? Mereka bersikukuh kalau lamaran nikah adalah peristiwa sekali seumur hidup, harus sangat berkesan bagi mereka. Aku tak mau mengecewakannya," kata Harry setengah murung sambil mengaduk-aduk kopinya.

"Kalau dia sudah tahu, itu keuntungan Anda, Sir. Anda bisa melamarnya dengan cara yang pasti akan dipahaminya," saran Joe.

"Begitu ya? Yah, mungkin kamu benar. Okelah. Makasih Joe atas nasihat dan sarapannya."

"Semuanya £ 15,30 Sir."

"Hah? Saranmu mahal sekali!"

"Tidak, Sir. Sarannya gratis. Cuma sarapan yang anda pesan yang tidak gratis. Sebenarnya cuma £ 10.30. Yang £ 5.00 itu karena anda datang sebelum jam buka," jawab Joe sambil nyengir lebar.

"Oh, yeah right. Nah makasih Joe," kata Harry setelah membayar dengan uang pas, yang kelihatannya seperti muncul dari udara kosong.

"Terima kasih kembali, Sir."


Godric's Hollow , 9 Juli, senjakala.

Harry sedang berlutut di depan makam kedua orang tuanya. Sudah setengah jam dia di sini. Sebuket bunga lili dan dahlia sudah tergeletak di nisan keduanya.

"Mum, Dad. Aku hari ini datang setelah sekian tahun. Apa aku sudah cerita tentang Ginny? Aku benar-benar berharap Mum dan Dad bisa bertemu dan mengenalnya. Dia gadis yang luar biasa. Tiada bandingannya. Sama sepertiku, tapi versi perempuan," Harry tersenyum saat mengucapkan ini, lalu melanjutkannya, "banyak sekali yang bilang dia beruntung mendapatkan aku sebagai pacarnya. Mereka semua salah. Akulah yang sangat beruntung mendapatkannya sebagai pacarku."

Harry terdiam sejenak. Matahari musim panas tidak seganas biasanya di desa kecil ini. Angin sepoi-sepoi berhembus sejuk membelai tengkuknya.

"Tapi aku tidak puas, Mum, Dad. Aku tidak puas hanya sebagai pacarnya. Aku ingin dia menjadi istriku, mengandung dan melahirkan anak-anakku, dan kami membesarkan anak-anak kami bersama. Maka dari itu aku datang kemari untuk memberitahukan kepada kalian, bahwa mungkin aku akan datang kemari beberapa bulan lagi, bersama Ginny sebagai istriku."

Setelah terdiam selama beberapa menit, Harry berkata," Mum, Dad, mungkin cuma itu saja yang hendak aku katakan. Aku bukan orang romantis, jadi aku nggak bisa bilang banyak hal kepada kalian, walaupun aku ingin. Salam untuk Sirius, Remus, Tonks, Professor Dumbledore, Fred, dan Severus."

Harry bangkit dan beranjak keluar dari pemakaman tersebut. Dia menyusuri jalan desa tersebut, yang menuntunnya menuju rumah keluarga Potter, rumah orangtuanya. Saat mengulurkan tangannya dia disambut oleh prasasti monumen tersebut. Harry mengayunkan tongkatnya dan prasasti tersebut menghilang. Harry melangkah masuk ke rumah keluarganya tersebut. Saat melangkahkan kakinya di dalam rumah itu, Harry membayangkan bagaimana orangtuanya hidup di zaman itu.

Dia sampai di sebuah kamar. Dibukanya pintu kamar tersebut dan tahulah dia kalau itu adalah kamar tidur utama, tempat orangtuanya tidur. Harry mengamati sekelilingnya. Matanya berhenti pada meja rias di seberang tempat tidur. Ada sebuah kotak disitu. Harry berjalan dan membukanya. Ada sebentuk logam di dalamnya. Harry memungut dan mengamatinya.

Sebuah cincin. Sederhana sekali desainnya. Cincin emas dengan mata berlian putih. Harry mengerutkan keningnya. Dia mengenalinya sebagai cincin kawin ibunya dari foto-foto pernikahan orangtuanya.

Tapi kenapa di kotak perhiasan? Kenapa Mum tidak mengenakannya saat Voldemort datang? Jawabannya langsung datang di kepalanya. Karena saat itu ibunya sedang mengasuh Harry. Dia tidak merasa perlu memakai cincin kawin karena tidak sedang bepergian, hanya ada suaminya dan Harry di rumahnya.

Tapi kok tidak hilang? pikir Harry lagi. Sekali lagi jawabannya langsung datang. Karena rumah ini tidak bisa dimasuki oleh Muggle. Dan tidak ada penyihir yang berminat menggerayangi rumah ini. Mereka takut Dumbledore memasang perlindungan yang kokoh di rumah ini, mencegah orang-orang yang tidak berkepentingan masuk. Walaupun tidak benar, tapi tidak ada penyihir yang berminat menjadi kelinci percobaan.

Harry tersenyum. Thanks, Mum. Cincin yang sempurna, pikir Harry.


The Burrow, 23 Juli, menjelang malam.

"Paman Hayyi!" seru Victoire kecil saat melihat Harry muncul di The Burrow. Dia langsung lepas dari gendongan Ginny dan lari menuju Harry.

"Halo Vic, sedang disini ya? Sama orangtuamu?"

"Hai Harry," sapa Bill dari ruang tengah. Fleur sedang di dapur, melambaikan sendok sayurnya sebagai ganti sapaannya.

"Gendong!" seru Victoire kepada Harry, lebih terdengar sebagai perintah daripada permintaan.

"Ogah!" jawab Harry sambil tersenyum menggoda ke Victoire.

Victoire langsung cemberut. Dia biasa dipatuhi kalau minta gendong. Baru kali ini dia ditolak.

"Mintanya yang sopan dong, Vic," tegur Bill sambil tersenyum.

"Paman Hayyi, boleh nggak Victoile minta gendong?" tanya Victoire sambil tersenyum manis.

"Ogah ah," jawab Harry berlagak cuek.

Sambil cemberut Victoire berlari ke dapur. Mereka mendengar Victoire merengek minta marshmallow karamel pada ibunya. Ibunya agak kewalahan menghadapi rengekan anaknya tersebut.

"Dia ngambek tuh," kata Ginny sambil tersenyum seraya menghampiri Harry. Dia nampak cantik dengan dandanannya yang kasual tapi rapi dan elegan. Harry menduga, walaupun meragukan kebenaran dugaannya, kalau Ginny minta nasihat kepada Fleur. Rupanya Ginny mempersiapkan sebaik mungkin dandanannya, karena jarang-jarang Ginny dan Harry bisa kencan keluar. Setahun pun bisa dihitung dengan jari tangan berapa kali mereka kencan.

"Biar aja. Sekali-sekali kan boleh," jawab Harry. Sedetik kemudian Victoire berderap memasuki ruang tamu lagi sambil membawa sepotong kecil marshmallow karamel.

"Ini buat Paman Hayyi!" kata Victoire sambil mengangsurkan marshmallow tersebut.

"Oh, terima kasih. Emmm....enak deh."

"Cekalang gendong Victoile, please!" tuntut Victoire lagi.

"Oh, jadi ini tadi bayaran buat menggendong kamu ya?" tanya Harry.

"Iya," jawab Victoire polos. Sambil tertawa Harry kemudian menggendong calon keponakannya itu. Victoile eh Victoire langsung tertawa riang digendong Harry. Ginny, Bill, dan Fleur tertawa melihat ulah Victoire.

"Kamu diajari berdagang gitu oleh siapa?" tanya Harry.

"Diajali Paman Joss!" jawab Victoire.

"Udahan ya!" kata Harry setelah menggendongnya selama dua menit. Victoire langsung cemberut lagi.

"Enggak mau! Kok cuma cebental?" tuntut Victoire.

"Kamu kan berat! Lagian Paman Harry sama Bibi Ginny mau pergi," jawab Harry.

"Mau kencan ya? Ikut!" seru Victoire.

"Nggak boleh! Lagian dari siapa kamu tahu kencan?" tanya Harry heran.

"Dali Bibi Helmayini," jawab Victoire, "jadi Vic boleh ikut?"

"Tetap nggak boleh!"

"Kenapa?" tuntut Victoire.

"Kamu bisa nggak mengikat tali sepatumu sendiri? Kalau bisa, Paman akan pergi sama Bibi Ginny saja. Kalau nggak bisa, Victoire tinggal di The Burrow ini sama orangtuamu," tukas Harry sambil tersenyum dan mengedipkan matanya. Bill, Fleur, dan Ginny tersenyum mendengar syarat dan hadiah yang dijanjikan Harry.

"Ahh, Vic nggak bica ikat tali cepatu!"

"Nah kalau gitu Paman Harry pergi sama Bibi Ginny saja ya?," jawab Ginny.

"Ahhh!" Victoire menjadi semakin manyun menggemaskan.

"Bye! Nanti Bibi bawakan marshmallow coklat deh!" rayu Ginny.

"Yang banyak ya!" tuntut Victoire.

Harry dan Ginny melangkah keluar. Ginny heran karena ternyata ada motor Sirius di halaman The Burrow.

"Kita akan naik itu?" tanya Ginny.

"Iya. Kenapa? kan bosan muter-muter terus ber-Apparate. Dan apa kamu nggak bosan menunggang Firebolt-ku?"

"Enggak. Enggak pernah bosan kok! Kan aku selalu menang naik Firebolt-mu itu."

"Yah, pokoknya aku bosan ber-Apparate, jadi kita naik motor aja."

Ginny mengalah dan membonceng di belakang Harry. Dalam sekejap motor tersebut membubung naik dan melesat membelah angin menuju ke arah yang diyakini Ginny sebagai London.

Harry benar, lebih enak naik motor, pikir Ginny sambil tersenyum saat memeluk Harry dari boncengannya. Walaupun dengan kecepatan segini, rambutku jadi berantakan lagi, lanjut Ginny dalam hati.


Leaky Cauldron, London, 23 Juli, 25 menit kemudian.


"Harry! Ginny!" seru Neville gembira menyambut Harry dan Ginny yang muncul di Leaky Cauldron.

"Hai, Professor Longbottom. Apa kabar?" sapa Harry sambil tersenyum lebar meledek Neville.

"Belum. Belum Professor Longbottom kok. Tapi besok September aku akan benar-benar jadi Professor di Hogwarts. Professor Sprout sudah menerima tawaran Menteri Shacklebolt untuk mengepalai Center of Herbology Research di Kementrian Sihir. Ini benar-benar hebat! Seperti hadiah ulang tahunku dimajukan!" jawab Neville riang.

"Oh, selamat ya Neville," sambut Ginny sambil tersenyum.

"Kalian mau dinner disini? Atau di Rukia's Cafe?" tanya Neville.

"Kayaknya disini saja deh!"

"Yakin?"

"Kenapa memangnya?"

"Disini nggak romantis. Sedangkan di Rukia's lebih romantis buat ehm..pasangan," jawab Neville sambil tersenyum simpul.

"Nev, aku Auror. Aku nggak suka dengan situasi dimana aku nggak bisa memantau keadaan sekelilingku. Suasana di Rukia's mendukung para penyihir hitam buat menyerang kami," tukas Harry setengah serius.

"Memang siapa yang akan menyerang kalian?" tanya Neville heran.

"Entahlah. Orang-orang yang dendam karena teman atau keluarganya kukirim ke Azkaban, atau orang-orang yang dibuat Ginny ini kalah bertaruh Quidditch. Berarti banyak sekali," jawab Harry santai sambil mengangkat bahu.

"Sekarang kamu paranoid," tuduh Neville.

"Memang. Dan itulah yang membuatku masih hidup dan sekarang menjabat sebagai pimpinan Divisi 3 (IntSpecOps) Auror Corps," tukas Harry, masih setengah cuek.

"Ah iya. Terserahlah. Omong-omong Mr dan Mrs Weasley juga sedang makan malam disini," tambah Neville.

"Hah?" tanya Harry terkejut.

"Lho, aku belum bilang ya? Mum dan Dad kan sedang keluar malam ini," timpal Ginny.

"Ya kamu sudah bilang. Tapi kamu nggak bilang kalau mereka juga makan disini!" tukas Harry setengah panik.

"Kenapa memangnya?" tanya Ginny heran.

"Ya, memang kenapa?" timpal Neville.

"Aku ingin berduaan saja sama kamu, Gin. Tidak dengan orang tuamu juga."

"Kalau begitu kita ke Rukia's?" tawar Ginny.

"Ogah. Kita ke tempat lain saja deh!"

"Baiklah, baiklah. Kamu jadi mirip Victoire, deh."

"Biarin. Sorry Nev. Kita nggak jadi makan malam disini," kata Harry memohon maaf ke Neville.

"Nggak apa-apa. Lagian aku juga mau berduaan sama istriku sejenak," jawab Neville sambil tersenyum mengantar Harry dan Ginny keluar dari Leaky Cauldron.


Trotoar di tepi Sungai Thames, London, 23 Juli, sekitar jam 10 malam

"Jadi, sekarang setelah kita menghabiskan kebab dan Cola kita serta sudah menikmati pemandangan Sungai Thames di malam hari, kamu mau melakukan apa sampai-sampai kamu nggak mau makan malam bersama Mum dan Dad?" tanya Ginny sambil menyedot Cola-nya.

"Aku mau menyewa kamar buat kita berdua, sayang ada Mr dan Mrs Weasley. Lagian Neville dan Hannah tidak menyewakannya buat short-time" jawab Harry cuek.

"APA?" seru Ginny sambil melotot, es krim sundae yang dipesannya sebagai dessert terlontar dari genggamannya. Beberapa pejalan kaki menoleh ke arah Ginny dan Harry.

"Becanda. Becanda. Kamu tahu kan, kalau aku nggak akan melakukan hal begituan?" jawab Harry sambil menenangkan Ginny, yang sekarang terlihat mirip Mrs. Weasley saat sedang marah.

Ginny cuma mendelik tidak yakin. Dia selalu yakin pekerjaan Auror sangat glamor, apalagi Harry adalah orang yang sangat terkenal di kalangan penyihir, yang mungkin akan mempengaruhi kepribadiannya. Banyak orang bahkan percaya hanya almarhum Albus Dumbledore yang bisa menyaingi ketenarannya. Sekarang saja ada banyak permintaan pada perusahaan produsen Chocolate Frog untuk memasukkan nama Harry ke dalam kartu koleksi penyihir, bersama dengan anggota Dumbledore's Army lainnya, antara lain Hermione Granger, Ron Weasley, Neville Longbottom, dan Ginny Weasley.

"Emm Gin?" tanya Harry setelah beberapa saat terdiam.

"Apa?" tanya Ginny setengah galak.

"Emmmm....."

"Apaan sih? Yang tegas dong!" tuntut Ginny, setengah jengkel setengah penasaran dengan Harry, yang tidak bersikap seperti biasanya.

Harry mengeluarkan kotak kecil dari sakunya, dan membukanya. Ginny melihat ada sebentuk cincin emas sederhana dengan mata berlian putih. Kesadaran akan arti tingkah aneh Harry langsung masuk ke benak Ginny. Is he going to do what I think he is going to do now? tanya Ginny dalam hati.

Harry nampak berpikir sejenak, kemudian berlutut di depan Ginny. He is, he's going to do it now! pikir Ginny setengah girang setengah panik.

"Maukah kamu menikah denganku, menjadi istriku, mendampingiku seumur hidupku, dan membesarkan anak-anak kita bersama-sama?" tanya Harry dengan sepenuh hati. Dia sudah melatih kata-katanya itu sejak sepuluh hari yang lalu secara intensif bersama Hermione, Ron, dan George di Weasley Wizard Wheezes. Ginny memerah wajahnya. Kegembiraan tidak bisa ditutupi dari wajahnya.

"Say YES!" seru beberapa orang di sekeliling mereka. Harry dan Ginny terperanjat saat menoleh ke sekeliling mereka. Rupanya mereka sedang ditonton oleh beberapa pasangan Muggle yang juga sedang melewatkan malam di trotoar sungai Thames. Harry dan Ginny semakin salah tingkah saat beberapa dari mereka bersuit dan bertepuk tangan.

"Emmmm...." Ginny tampak sedang berusaha mencari kata-kata yang tepat.

"Aww..come on! masa bilang 'yes' saja susah banget!" seru seorang pemuda Muggle dengan T-shirt bertuliskan "I Live in London but My Heart is in Anfield Forever!"

Akhirnya Ginny sepertinya menemukan kata-kata yang tepat.

"Harry, bisakah aku memikirkannya dulu?" itulah kata-kata yang keluar dari mulut Ginny. Para Muggle yang menonton mendesah kecewa, begitu juga Harry, yang masih berlutut di depannya.

"Kenapa? Apa kamu menolak lamaranku?" tanya Harry, kekecewaan tidak bisa ditutupi dari wajahnya.

"Aku tidak bilang begitu," tangkis Ginny lembut.

"Jadi kamu mau?" tanya Harry, semangatnya timbul kembali.

"Aku juga tidak mengatakan demikian," jawab Ginny sambil tersenyum.

"Apaan sih? Yang tegas dong!" tuntut Harry.

"Ada beberapa hal, enggg, yang harus kupikirkan saat aku menjawab lamaranmu ini. Tapi aku gembira sekali Harry, dengan lamaranmu ini."

12 Grimmauld Place, London, 25 Juli, sekitar tengah malam

"Apa yang Ginny pikirkan lagi?" tanya Ron.

Saat itu Ron sedang datang dan menginap di Grimmauld Place. Hermione sendiri tidak ikut. Dia tinggal di rumah orang tuanya di pinggiran kota Oxford.

"Entahlah. Dia mengatakan kalau ada beberapa hal yang perlu dia pikirkan," jawab Harry.

"Apa ya?" tanya Ron sambil mengunyah Chocolate Frog-nya.

Harry mengangkat bahunya. Dengan setengah murung dia meggoyangkan cangkir kopinya. Dia bahkan tidak ingat bagaimana caranya dia sudah sampai di Grimmauld Place setelah dia melamar Ginny.

"Eh, jangan-jangan....." ungkap Ron dengan sedikit ragu-ragu.

"Apa?" tanya Harry.

"Jangan-jangan dia punya cowok lain," ungkap Ron sambil melirik Harry takut-takut. Harry menyemburkan kopi yang sudah setengah berada di rongga mulutnya. Dia melotot ke Ron, yang sudah siaga dengan tongkatnya.

"Kenapa kamu bilang begitu?"

"Kan Ginny chaser paling terkenal di Inggris ini. Dia cantik, jago terbang, ramah. Banyak cowok yang pasti kepengen sama dia. Maksudku, kecuali cowok itu gay, nggak mungkinlah ada cowok yang nggak kepingin sama dia?" Ron membeberkan analisanya dengan yakin.

"Hmmm....masalahnya Ron, semua orang yang mengikuti English Quidditch Premiere League, pasti tahu kalo aku ini adalah tunangannya," jawab Harry, sedikit membesarkan dirinya sendiri.

"Betul juga. Atau jangan-jangan ada secret admirer dan Ginny sedang penasaran dengan si secret admirer itu?"

"Entahlah. Apa sebaiknya kita tanya Hermione saja? Ini kan masalah cewek, mungkin Hermione tahu sesuatu," usul Harry.

"Tidak aku sarankan," jawab Ron dengan pasti.

"Kenapa?"

"Sekarang hampir tengah malam. Dia pasti sudah tidur. Lagian sekarang adalah periode menstruasinya. Kamu pasti bakal dijadikan sasaran latihan mantra Sengat selama dua tahun kalau membangunkannya tengah malam begini untuk tanya hal-hal yang menurutnya kurang penting."

"Ini kan penting!"

"Tidak menurut Hermione. Menurutnya yang penting itu adalah penegakan hukum sihir, taraf hidup makhluk non-penyihir dan non-pembawa tongkat, serta aku, tunangannya. Kamu dan Ginny penting, tapi itu kalau tidak sedang menstruasi," jawab Ron kalem sambil meneruskan makan coklatnya.

"Oh, begitu," Harry duduk lesu kembali.

Sampai saat mereka tidur pun Harry masih memikirkan Ginny dan bertanya-tanya kapan lamarannya akan dijawab.


Kementerian Sihir, London, 31 Juli, jam 15.12.

Semua pegawai Kementrian Sihir memelototi monitor televisi yang ada di banyak sudut di gedung Kementerian Sihir. Mereka sedang menonton breaking news dari English Quidditch Pemiere League. Hari ini ada pengumuman dari Holyhead Harpies tentang chaser andalan mereka, Ginevra Weasley. Harry sedang di Markas Auror, yang berbagi lantai dengan Administrator Liga Quidditch.

"Ladies and Gentlemen, Miss Ginevra Weasley akan memberikan pengumumannya sesaat lagi," kata reporter olahraga WTV -Wizard Television.

Di latar belakang ada sebuah meja panjang untuk konferensi pers. Ginny muncul bersama kapten Harpies Byakuya Akagi dan manajer Harpies Deneb Almiron.

"Selamat Sore semuanya. Saya Ginevra Weasley akan memberikan pengumuman mengenai karir saya sebagai pemain Quidditch," Ginny berhenti sebentar untuk menarik nafas," emm selama beberapa waktu ini anda sudah mengetahui bahwa saya sudah bertunangan dengan Harry Potter. Dan selama itu pula banyak fans dan rekan pemain, baik dari satu klub maupun yang berbeda klub, bertanya kepada saya kenapa kami belum menikah. Jawabannya sangat sederhana, karena Harry belum melamar saya. Nah, beberapa hari yang lalu, Harry akhirnya memberanikan dirinya melamar saya....."

Terjadi kegaduhan, banyak wartawan, terutama wartawan gosip berebut mengajukan pertanyaan. Di Markas Auror keadaannya sama saja, Harry dirubungi banyak pertanyaan dari rekan-rekannya. Harry cuma menunjuk ke arah televisi. Mereka menoleh dan melihat bahwa Ginny siap melanjutkan pernyataannya setelah meminta para wartawan tenang sebentar.

"....beberapa hari lalu Harry melamar saya di tepi sungai Thames, dan ditonton oleh beberapa Muggles (banyak yang tertawa mendengar pernyataan Ginny ini). Saat itu saya meminta waktu untuk berpikir sejenak atas permintaannya tersebut. Nah, sekarang saya akan memberi jawaban atas lamaranmu, Harry, dimanapun kamu sekarang. Bertepatan dengan hari ulang tahun Harry, yang jatuh pada hari ini, maka saya akan melepaskan nama Weasley dan akan menggunakan nama Potter sepanjang sisa hidup saya....."

Terdengar riuh rendah suitan dan berondongan ucapan selamat dari rekan-rekan Harry, dan wartawan yang sedang mengelilingi Ginny.

"......maaf, masih ada lanjutannya (semua akhirnya tenang kembali, baik yang di televisi maupun di Markas Auror). Sehubungan dengan itu, setelah resmi menikah saya akan mengundurkan diri sepenuhnya dari Quidditch dan menjadi ibu rumah tangga...."

"Potter! Kubunuh kau!", raung Phillip Devlin dari seberang ruangan.

"Silahkan saja," jawab Harry acuh tak acuh, seakan ancaman Devlin adalah rutinitas kantor,"aku toh perlu olahraga setelah belakangan ini cuma ongkang-ongkang kaki di belakang meja."

Devlin mengeluarkan tongkat sihirnya dan bersiap menyerang Harry. Sayangnya, karena lawannya adalah salah satu Auror terbaik Kementrian, saat tongkatnya baru separuh terangkat, Harry sudah menodongkan tongkatnya persis lima senti di depan hidung pegawai Departemen Permainan Sihir Kementerian Sihir itu.

"Nah, Mr Devlin," tanya Harry sambil tersenyum lebar,"bagaimana dengan ancaman anda tadi?"

Phillip Devlin hanya menggerutu, dan teman-temannya tertawa, termasuk sepasukan Auror di belakang Harry. Mereka mulai mengucapkan selamat, baik ucapan selamat ulang tahun, maupun ucapan selamat karena akan segera menikah. Tapi seperti halnya Phillip Devlin, mereka menyayangkan pengunduran diri Ginny sepenuhnya dari arena Quidditch. Berarti Inggris akan mengecil kans mereka dalam Piala Dunia berikutnya. Harry hanya tertawa dan menerima ucapan selamat yang mengalir kepadanya sepanjang hari itu.

Jadi itu alasannya? Dia berniat memberikan kejutan ulang tahun dengan menerima lamaranku. Untunglah tebakan Ron meleset, pikir Harry sambil tersenyum.


Epilog
Godric's Hollow, 27 September, senjakala.


Angin musim gugur berhembus dengan dingin. Di pemakaman desa Godric's Hollow ada dua orang suami istri yang sedang mengunjungi sepasang makam.

"Hai Mum, Dad. Seperti yang kujanjikan waktu terakhir kali aku datang kemari. Hari ini aku datang bersama istriku, Ginny. Kami sudah menikah bulan Agustus lalu, tepat di hari ulang tahun Mrs. Weasley."

"Halo, Mr dan Mrs. Potter. Sekarang saya adalah putri anda. Terima kasih sudah melahirkan putra yang luar biasa ini. Saya akan menghabiskan umur saya bersama Harry. Saya benar-benar bahagia sekarang. Kami berjanji akan membimbing cucu-cucu anda supaya dapat membanggakan nama Potter dan Weasley."

Dua buah buket bunga lili dan dahlia lalu diletakkan di nisan James dan Lily Potter oleh keduanya.



Tamat


Catatan Penulis.

1. Soal Anindya's dan Joe, bacalah FF-ku sebelumnya, yaitu A Day with an Auror Cheesy. FF ini juga menjelaskan alasanku menulis kalau Ginny menggunakan Firebolt Harry. Tentang WTV juga.

2. Ada beberapa divisi dalam Korps Auror, antara lain Divisi 1 (EduCruit: Education and Recruitment), Divisi 2 (ResDeV: Research and Development), Divisi 3 (IntSpecOps: Intelligence and Special Operations), Divisi 4 (DetCorPun: Detention and Corporal Punishment, bertugas mengawasi Azkaban), dll.

3. Ini sebenarnya aku tulis untuk mengikuti Challenge 10: Ulang Tahun yang diprakarsai oleh Ambu, tapi karena kepanjangan maka aku batalkan dan aku buat thread sendiri. Aku membuatnya dalam waktu sekitar 5 jam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar