Kamis, Desember 03, 2009

Idea: Solo International Cinema Festival

Selama beberapa tahun terakhir (utamanya saat kepemimpinan walikota Joko Widodo), dunia pariwisata di Solo seakan sangat bergairah. Banyak sekali event yang diadakan oleh Dinas Pariwisata, utamanya yang berkaitan dengan seni budaya. Yang paling terkenal adalah SIEM (Solo International Ethnic Music Festival). Selain itu banyak event lain (sori gak inget soalnya banyak banget, hehehehe)

Tapi sepertinya ada satu cabang seni yang tidak dilirik oleh Pemkot, yaitu seni film. Tidak ada satupun festival film tingkat nasional atau internasional yang digelar di Solo. Mungkin ada Pekan Kartun dan Animasi Nasional, tapi itu adalah event bergilir yang kebetulan diadakan di Solo, ataupun rencana pengajuan diri Solo menjadi tuan rumah FFI 2010. Bahkan Pekan Film Prancis yang sering diadakan secara roadshow di banyak kota tidak pernah menyambangi kota Solo.

Apakah karena di Indonesia sudah ada festival2 film lain? Seperti Jiffest (Jakarta International Film Festival), INAFF, Festival Film Bandung, Biffest (Bali International Film Festival), dll? Ataukah karena menurut Pemkot, film tidak memcerminkan budaya asli kota Solo? Atau mungkin karena enggan dikatakan ikut-ikutan Yogya yang sudah eksis lebih dulu?

Kalau alasannya adalah karena di Indonesia sudah banyak festival film, ya biar sajalah. Di Amerika Serikat saja banyak sekali festival film, seperti Sundance, Fort Lauderdale Film Festival, Chicago Film Circle, dll. Semakin banyak festival film, semakin bagus kan? Di Prancis pun tidak hanya Cannes, dan di Italia tidak cuma memiliki Venice.

Jika alasannya karena film tidak mencerminkan seni budaya asli kota Solo, menurutku itu alasan yang naif. Mungkin memang bukan budaya asli masyarakat Solo. Tapi dengan adanya festival film nasional, atau bahkan syukur2 internasional, maka akan banyak pengunjung yang datang ke kota Solo. Misalnya dari fimmaker internasional yang diundang, wisatawan mancanegara yang tertarik untuk menonton film yang diputar di festival tersebut, dan lain2. Dan selama mereka di Solo, sekalian saja dipromosikan tempat2 tujuan wisata di Solo, selain itu setelah mereka pulang ke daerah asal mereka masing2, mereka bisa bercerita tentang kota Solo. Dan jangan lupa tentang liputan media baik nasional maupun internasional yang bisa meningkatkan citra kota Solo di mata nasional dan internasional.

Jika alasannya adalah tidak adanya infrastruktur pendukung yang memadai maka kreatiflah dan putarlah otak sedikit! Memang, gedung bioskop di Solo hanya ada 2, yaitu di Solo Grand Mall dan di Singosaren Plaza. Tapi pelaksanaan sebuah festival tidak melulu harus di sebuah ruangan bioskop kan?

Mungkin bisa diadakan di Auditorium Universitas setempat (UNS dan UMS), dan setelah itu diadakanlah coaching clinic pembuatan film dari para filmmaker film tersebut. Aku yakin banyak mahasiswa Solo yang kreatif dan bersemangat membuat film dan bosan dengan sajian film Indonesia yang cenderung memburuk kualitasnya akhir-akhir ini. (Kekecualian dari segi kualitas mungkin hanya film Merantau, Merah Putih, seri Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, dan King yang kualitasnya cukup baik). Ingat, orang2 sekaliber Steven Spielberg sekalipun mulai berkreasi dan unjuk gigi dari ajang2 festival film.

Diadakannya festival film juga bisa memberikan alternatif tontonan masyarakat. Selama ini banyak anak muda yang mengeluhkan tontonan film di bioskop yang (dalam kasus film asing) sering telat atau (dalam kasus film asing) temanya itu2 aja. Banyak sebenarnya anak muda yang menginginkan tontonan film yang lebih variatif. Dan selain itu, festival fim juga bisa menginspirasikan para anak muda untuk kreatif dan berkreasi dan menyalurkan energi mereka ke hal2 yang positif.

Mungkin masalahnya adalah masalah klasik berupa pendanaan. Ever heard a business mutual relationship called sponsorship? No? Which age are you live in now? Dan kenapa pemkot enggan mensponsori event festival film? Bukankah peluang bisnis yang bisa digali dari event ini sangat besar?

Kalo Pemkot tidak tertarik mensponsori, mungkin efek samping dari festival ini bisa membuat beliau-beliau berubah pikiran. Efek berantai dari bisnis ini sangat besar. Dari peningkatan okupansi hotel untuk para tamu undangan baik luar negeri maupun dalam negeri, lalu pendapatan pajak iklan dan pajak tontonan, kemudian para pengunjung dan peserta festival bisa dijamu ke poin2 wisata kota Solo. Dan jangan lupa, bekerjasamalah dengan media, baik dalam negeri maupun luar negeri, untuk mempromosikan kota Solo. Bukankah ini yang sedang digiatkan oleh Pemkot, mempromosikan kota Solo?

Aku tidak mau terdengar seperti seorang aktivis yang sok memperjuangkan sesuatu ide, tapi manja. Jangan salah paham, aku ingin di Solo diadakan sebuah festival film. Tapi aku tidak ingin terdengar seperti orang idiot yang menuntut segala sesuatunya dilakukan oleh pemkot. Mungkin sebuah festival film bisa diadakan oleh pihak swasta dengan pendampingan dari pihak pemkot/dinas terkait. Atau mungkin pemkot hanya memfasilitasi sebagian pendanaan sedang pelaksanaan menjadi tanggung jawab panitia penyelenggara yang berasal dari kalangan bukan birokrat.

So, when will Solo International Cinema Festival be held?