Selasa, Januari 04, 2011

Kamis, Desember 03, 2009

Idea: Solo International Cinema Festival

Selama beberapa tahun terakhir (utamanya saat kepemimpinan walikota Joko Widodo), dunia pariwisata di Solo seakan sangat bergairah. Banyak sekali event yang diadakan oleh Dinas Pariwisata, utamanya yang berkaitan dengan seni budaya. Yang paling terkenal adalah SIEM (Solo International Ethnic Music Festival). Selain itu banyak event lain (sori gak inget soalnya banyak banget, hehehehe)

Tapi sepertinya ada satu cabang seni yang tidak dilirik oleh Pemkot, yaitu seni film. Tidak ada satupun festival film tingkat nasional atau internasional yang digelar di Solo. Mungkin ada Pekan Kartun dan Animasi Nasional, tapi itu adalah event bergilir yang kebetulan diadakan di Solo, ataupun rencana pengajuan diri Solo menjadi tuan rumah FFI 2010. Bahkan Pekan Film Prancis yang sering diadakan secara roadshow di banyak kota tidak pernah menyambangi kota Solo.

Apakah karena di Indonesia sudah ada festival2 film lain? Seperti Jiffest (Jakarta International Film Festival), INAFF, Festival Film Bandung, Biffest (Bali International Film Festival), dll? Ataukah karena menurut Pemkot, film tidak memcerminkan budaya asli kota Solo? Atau mungkin karena enggan dikatakan ikut-ikutan Yogya yang sudah eksis lebih dulu?

Kalau alasannya adalah karena di Indonesia sudah banyak festival film, ya biar sajalah. Di Amerika Serikat saja banyak sekali festival film, seperti Sundance, Fort Lauderdale Film Festival, Chicago Film Circle, dll. Semakin banyak festival film, semakin bagus kan? Di Prancis pun tidak hanya Cannes, dan di Italia tidak cuma memiliki Venice.

Jika alasannya karena film tidak mencerminkan seni budaya asli kota Solo, menurutku itu alasan yang naif. Mungkin memang bukan budaya asli masyarakat Solo. Tapi dengan adanya festival film nasional, atau bahkan syukur2 internasional, maka akan banyak pengunjung yang datang ke kota Solo. Misalnya dari fimmaker internasional yang diundang, wisatawan mancanegara yang tertarik untuk menonton film yang diputar di festival tersebut, dan lain2. Dan selama mereka di Solo, sekalian saja dipromosikan tempat2 tujuan wisata di Solo, selain itu setelah mereka pulang ke daerah asal mereka masing2, mereka bisa bercerita tentang kota Solo. Dan jangan lupa tentang liputan media baik nasional maupun internasional yang bisa meningkatkan citra kota Solo di mata nasional dan internasional.

Jika alasannya adalah tidak adanya infrastruktur pendukung yang memadai maka kreatiflah dan putarlah otak sedikit! Memang, gedung bioskop di Solo hanya ada 2, yaitu di Solo Grand Mall dan di Singosaren Plaza. Tapi pelaksanaan sebuah festival tidak melulu harus di sebuah ruangan bioskop kan?

Mungkin bisa diadakan di Auditorium Universitas setempat (UNS dan UMS), dan setelah itu diadakanlah coaching clinic pembuatan film dari para filmmaker film tersebut. Aku yakin banyak mahasiswa Solo yang kreatif dan bersemangat membuat film dan bosan dengan sajian film Indonesia yang cenderung memburuk kualitasnya akhir-akhir ini. (Kekecualian dari segi kualitas mungkin hanya film Merantau, Merah Putih, seri Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, dan King yang kualitasnya cukup baik). Ingat, orang2 sekaliber Steven Spielberg sekalipun mulai berkreasi dan unjuk gigi dari ajang2 festival film.

Diadakannya festival film juga bisa memberikan alternatif tontonan masyarakat. Selama ini banyak anak muda yang mengeluhkan tontonan film di bioskop yang (dalam kasus film asing) sering telat atau (dalam kasus film asing) temanya itu2 aja. Banyak sebenarnya anak muda yang menginginkan tontonan film yang lebih variatif. Dan selain itu, festival fim juga bisa menginspirasikan para anak muda untuk kreatif dan berkreasi dan menyalurkan energi mereka ke hal2 yang positif.

Mungkin masalahnya adalah masalah klasik berupa pendanaan. Ever heard a business mutual relationship called sponsorship? No? Which age are you live in now? Dan kenapa pemkot enggan mensponsori event festival film? Bukankah peluang bisnis yang bisa digali dari event ini sangat besar?

Kalo Pemkot tidak tertarik mensponsori, mungkin efek samping dari festival ini bisa membuat beliau-beliau berubah pikiran. Efek berantai dari bisnis ini sangat besar. Dari peningkatan okupansi hotel untuk para tamu undangan baik luar negeri maupun dalam negeri, lalu pendapatan pajak iklan dan pajak tontonan, kemudian para pengunjung dan peserta festival bisa dijamu ke poin2 wisata kota Solo. Dan jangan lupa, bekerjasamalah dengan media, baik dalam negeri maupun luar negeri, untuk mempromosikan kota Solo. Bukankah ini yang sedang digiatkan oleh Pemkot, mempromosikan kota Solo?

Aku tidak mau terdengar seperti seorang aktivis yang sok memperjuangkan sesuatu ide, tapi manja. Jangan salah paham, aku ingin di Solo diadakan sebuah festival film. Tapi aku tidak ingin terdengar seperti orang idiot yang menuntut segala sesuatunya dilakukan oleh pemkot. Mungkin sebuah festival film bisa diadakan oleh pihak swasta dengan pendampingan dari pihak pemkot/dinas terkait. Atau mungkin pemkot hanya memfasilitasi sebagian pendanaan sedang pelaksanaan menjadi tanggung jawab panitia penyelenggara yang berasal dari kalangan bukan birokrat.

So, when will Solo International Cinema Festival be held?

Kamis, November 26, 2009

Antara La Beneamata dan Il Diavolo Rossi

Sebuah percakapan terjadi di sebuah cafe di sudut kota Milan di Italia antar dua orang tifosi yang mendukung dua klub berbeda di kota tersebut. Yang satu kita sebut saja Beneamata karena dia tifoso Inter. Sedangkan yang kedua kita sebut Diavolo karena dia tifoso AC Milan.

Beneamata: Heh, gimana kabar panti jompomu?

Diavolo: Panti jompo yang mana? [bingung]

Beneamata: Ya, panti jompo yang bernama AC Milan itu. [tertawa sinis]. Kakek-kakek seharusnya gak usah main calcio. Di rumah aja sama cucu. [tawa sinisnya makin menyebalkan]

Diavolo: Kenapa disebut panti jompo? Kan masih ada para pemain mudanya? [jadi panas karena tim kesayangannya diejek]

Beneamata: Ah, tapi kan masih banyak yang gaek. Dida, Favalli, Kaladze, Oddo, Zambrotta, Ambrosini, Seedorf, Gattuso, Pirlo, Inzaghi..

Diavolo: [memotong cepat] Kan sudah ada Thiago Silva, Pato, Huntelaar, Flamini, Ignazio Abate...

Beneamata: [mencibir] Ah, persentasenya dikit. Banyakan kakek-kakeknya. Beda dong sama Internazionale. Pemain muda banyak yang bercokol disana. Inter adalah tim muda, Milan adalah panti jompo yang sekarang jadi tim kacangan.....

Diavolo: Tapi kan kebanyakan masih bisa diandalkan dan kemampuannya masih mumpuni macam Nesta, Pirlo, Ambrosini, Zambrotta, Inzaghi...kalo Favalli dan Seedorf sih dibuang aja..

Beneamata: Huahahahaha......Tetep aja mereka umurnya di atas 30, gak mungkin menandingi tim muda Inter...

Diavolo: [sekarang ganti mencibir] Oh ya? Siapa aja pemain muda Inter?

Beneamata: [pongah] Masa gak tahu Davide Santon, Mario Balotelli, Ricardo Quaresma, Wesley Sneijder...

Diavolo: [dengan nada menyindir yang sangat tajam] ya, trus masih ada lulusan primavera tahun ini seperti Javier Zanetti, Marco Materazzi, Patrick Vieira, Julio Cesar, Diego Milito, Dejan Stankovic, Lucio, Walter Samuel. Kalo Julio Cruz, Luis Figo, Ivan Cordoba, Nelson Rivas masih di Inter boleh tuh ditambahin...

Beneamata: [merah padam] Tapi kan mereka masih diandalin...

Diavolo: [tertawa mengejek] Huahahahaha......Tetep aja mereka umurnya di atas 30, sudah tua. Sok ngejek Milan panti jompo, padahal Inter juga doyan memelihara daun tua...

Beneamata: [menukas dengan kesal] Lihat aja transfer window nanti. Mourinho pasti akan mendatangkan pemain muda hebat!

Diavolo: [masih tertawa sinis menyebalkan] Oh ya? Isu terakhir dia mau membeli Deco yang memble di Chelsea. Denger-denger dia pemain muda hebat ya? Dan omong2 Chelsea tertarik untuk membeli Filippo Izaghi, dan Leonardo mau meneruskan proyek mendatangkan Edin Dzeko setelah mendapatkan Dominic Agidiyah yang bersinar di Piala Dunia U-21...

Beneamata: [menukas dengan kesal] HUH! Lihat aja nanti akhir musim. Kamilah yang akan scudetto dan juara Liga Champions. AC Milan bakalan gigit jari!

Diavolo: [menanggapi dengan santai] Mungkin saja. Toh Inter emang sudah lama sekali tidak juara di Eropa, Dan AC Milan udah kelewat sering juara Liga Champions. Terakhir Inter meraih gelar di daratan Eropa...errr..kapan ya? [sambil pura-pura mengingat-ingat]

Beneamata: [tidak menjawab]

Diavolo: [berlagak baru ingat] Ah, iya. Inter terakhir juara di dataran Eropa tahun 1998 di Piala UEFA. Sedangkan di Piala/Liga Champions......errrr....kapan ya? Kayaknya pas kita berdua belum lahir deh? Tahun 1964? 1965?

Beneamata: [langsung bangkit dan meninggalkan cafe]

Diavolo: [kali ini terang-terangan mengejek] Internazionale yang internasional cuman nama dan pemainnya saja. Prestasi sih lokal-lokal saja! Mending ganti nama jadi INTERLOCALE aja! Mwahahahahaha....

Pelayan cafe: [menyela] Maaf Signor, karena rekan anda sudah pergi, maka tagihannya anda yang bayar. Ini, silahkan [sambil mengangsurkan bon tagihan]

Diavolo: [tawanya langsung berhenti seketika] Sialan!



Ini cuman fiksi belaka. Kalo ada Internisti yang tersinggung......EMANG DISENGAJA!!
MWAKAKAKAKA

 

 

Jumat, September 25, 2009

Execution, Extinction

Judul yang provokatif ya?
Hehehehe
Ini adalah chapter terbaru dari manga favoritku, Bleach karangan Kubo Tite (aslinya Noriaki Kubo) yang diterbitkan oleh Weekly Shonen Jump.

Di chapter ini diceritakan tentang kematian Coyote Stark, Primera Espada dari para Arrancar pimpinan si pengkhianat Soul Society Aizen Sousuke. Rupanya Kyouraku Shunsui bener2 salah satu dari 4 kapten terkuat di Gotei 13. Terbukti dia bisa membunuh Primera Espada hanya dengan shikai dari Katen Kyokutsu.

Seperti biasa, saat kematian seorang karakter dalam Bleach selalu diawali dengan sebuah flashback. Dan tradisi ini berlanjut. Stark yang kesepian mengenang masa lalunya dan sadar bahwa ternyata dia tidaklah sendirian karena selalu ditemani Lylinette dan Espada lainnya. Kubo tite benar2 mencoba membuat plot twist dengan mematikan satu2nya Espada yang tersisa, yaitu Tercera Espada, Tia Hallibel di tangan................Aizen sendiri.

Whoa!
Ada apa ini? Kenapa Aizen membunuh jendral perangnya sendiri? Apakah dia sudah percaya diri dengan hanya ditemani oleh Tousen Kaname dan Ichimaru Gin?

Rabu, September 23, 2009

Leonardo, The Hunter, dan Il Nuovo Diavolo Rossi

Semua Milanisti di dunia pasti sedang resah dan gelisah. Setelah tsunami di musim panas kemarin, Milan berusaha keras untuk memulihkan diri. Seperti yang diketahui oleh semua orang, musim panas lalu dua orang yang menjadi sosok yang sangat iconic bagi Il Diavolo Rossi pergi meninggalkan Milanello dengan dua alasan berbeda.

Ricardo Izecson dos Santos Leite, yang lebih sering disebut Kaka saja, bermigrasi ke kamp Valdebebas untuk menjadi anggota Los Galacticos Real Madrid. Sedangkan Il Bandiera Rossoneri, Paolo Maldini memutuskan pensiun, hal yang wajar mengingat betapa rentanya Signor Maldini untuk ukuran atlet profesional (sepakbola, kalo atlet catur sih terserah aja mau pensiun usia berapapun...). Belum cukup keguncangan tersebut, Carletto "Carlo" Ancelotti memutuskan untuk mengiyakan ajakan Roman Abramovic untuk menangani Chelsea.

Hilangnya tiga personel inti Milan (pelatih, playmaker, dan leader utama) sangat sukses membuat para Milanisti was-was dan gundah. Awan mendung di atas Milanello seakan-akan enggan pergi. Berturut-turut para pemain incaran lepas dari cengkeraman si Setan Merah (versi Italia).

Dari kasus Aly Cissokho yang aneh (karena batal bergabung hanya karena giginya tonggos. C'mon! Sudah liat giginya Ronaldo de Assis/Ronaldinho kan?), enggannya Wolfsburg melepas Edin Dzeko, lalu cemoohan bos Sao Paulo (ato Santos? Lupa deh) yang menertawakan Milan saat hendak menawar bek Miranda dan memilih untuk bernegosiasi dengan klub Spanyol yang lebih kaya dan mencemooh Milan yang dianggap "fakir miskin". (Emangnya klub Spanyol mana, Pak? Barcelona jelas lebih memilih cantera-nya. Madrid nggak akan mengambil Miranda untuk Los Galacticos Project. Valencia? El Che kan lebih miskin dari Milan sekarang...), lalu Sevilla yang membatalkan negosiasi Luis Fabiano karena Milan terlalu pelit.

Tapi ternyata Project Los Galacticos membawa berkah. Selain dari duit transfer Kaka, Madrid akhirnya bersedia melepaskan Klaas-Jan Huntelaar. Pemain yang dijuluki The Hunter ini akhirnya menjadi pemain yang datang ke Milan musim ini dengan biaya transfer. Sebelumnya Oguchi Onyewu diikat secara free-transfer. Dan Thiago Silva sudah diikat musim semi lalu. Sebagian Milanisti berharap bahwa The Hunter akan bisa meneruskan kehebatan Marco Van Basten.

Dan kapten baru Milan adalah Massimo Ambrosini. Pemain blonde yang akrab disapa Max ini dipilih karena Milan menganut senioritas. Dan Max adalah pemain tersenior, excluding Seedorf, Inzaghi, dan Kaladze. Tersenior disini adalah durasi dia mengenakan jersey Merah Hitam. Apakah dia pantas? Hmmm....opiniku sih tidak. Dia tidak banyak menampilkan kualitas pemimpin saat beraksi. Menurutku yang pantas adalah Alessandro Nesta. Sayang dia kalah lama bergabung dibandingkan Max dan Rhino Gattuso.

Lantas siapa yang menggantikan Don Carlo? Ternyata berlainan dengan spekulasi awal yang menjagokan mantan punggawa Milan yang menganggur, seperti Frank Rijkaard dan Marco van Basten, manajemen Milan memilih mantan sayap kiri dan direktur tekniknya, yaitu Leonardo Nascimento de Araujo.

Bisakah Leonardo? Banyak yang pesimis. Hasil pramusim sangat tidak menggembirakan. Apalagi ditambah fakta bahwa Leonardo baru saja memperoleh lisensi kepelatihannya musim ini. Hal yang tidak wajar. Biasanya pelatih2 di Serie A menapak karir dari divisi sangat bawah. Contohnya Carlo Ancelotti sendiri yang sukses mengangkat Reggiana ke Serie A, lalu direkrut Parma, lalu Juventus, sebelum akhirnya menjadi alenatore terlama di Serie A di Milan. Ciro Ferrara juga menapak dari Bari di Serie B sebelum ditunjuk menukangi Juventus musim ini. Mungkin manajemen Milan terpengaruh euforia kesuksesan Josep "Pep" Guardiola yang di tahun pertamanya di Barcelona mempersembahkan treble. But can Leonardo deliver? For now, "no" seems to be the correct answer. Although I admit, it's too early to judge.


Leonardo bukanlah Ancelotti. Ancelotti saat menjadi pemain AC Milan berfungsi sebagai sayap kanan kreatif yang mampu meracik serangan. Sedangkan Leonardo saat membela Milan adalah sayap kanan yang cenderung menjadi forward. Mungkin terlalu naif membandingkan keduanya berdasarkan posisi mereka saat menjadi pemain. Tapi kesuksesan Pep adalah karena saat aktif menjadi pemain Barcelona, Pep adalah gelandang bertahan yang mengawali serangan (mirip dengan Xabi Alonso atau Andrea Pirlo. Istilah kerennya "deep playmaker").Selain itu, Pep sudah berpengalaman melatih, walaupun hanya tim Barcelona B. Setidaknya dia paham akan beberapa aspek pelatih yang tidak akan dirasakan oleh orang yang baru pertama kali menjabat sebagai pelatih kepala sebuah tim profesional (apalagi di klub kaliber raksasa macam Milan).

Leonardo masih belum mampu mengatasi tekanan. Saat tim dibobol, Leonardo terlihat memucat wajahnya. Selain itu, kemampuannya mengubah alur permainan juga masih belum teruji. Seorang pelatih dalam 90 menit harus memiliki "Plan B" jika taktik dan formasi utamanya macet tidak berfungsi. Leonardo masih berusaha keras mengatasi sindrom "no second plan"-nya. Lumayan berhasil. Setidaknya Marseille sudah merasakannya.

Bukannya mau meremehkan Leonardo. He showed some potential there. But he just need a longer period to learn before he gets the hang of it. Selain itu, The Hunter juga belum nge-klik dengan rekan2nya. Dan si dewa mabuk Ronaldinho berulah lagi. Silvio Berlusconi dan Adriano Galliani berharap banyak pada si dewa mabuk ini (I nicknamed him the drunken lord not because he's getting better when he's drunk, like Jackie Chan in Drunken Master, but because of his habitual drinking hindered him from performing his best talent), tapi si dewa mabuk ini bener menjengkelkan dan tidak bertanggung jawab.

Sudah baca berita bahwa Ronaldinho bermabuk2an di pusat kota Milan di sebuah pesta? Dan saat beberapa Milanisti yang kebetulan juga hadir menyuruhnya pulang karena besok pagi di kamp Milanello ada latihan, dia malah marah2? I mean, what kind of professional athlete is that? D'oh (Homer Simpson mode on).


And lastly, can we do something about Clarence Seedorf? He's sucks as hell. His performance is as consistent as rollercoaster on highest speed. We need consistency and stability. Two things that seldom showed by this dutch. Sure, he was once a great and talented player. But that was centuries ago.



Selasa, September 22, 2009

Lebaran (separuh) Home Alone

Hmm....
Sudah lebaran ya?
Seharusnya lebaran disambut dengan gembira kan? Kita memaafkan dan dimaafkan, dihapus dosa2nya. Dan lebaran adalah hari raya yang ditunggu2 olehku. Kenapa? Bisa ke Surabaya dan ketemu sama saudara2 sepupu. Dan menikmati kota Surabaya yang lengang. Tapi tidak lebaran kali ini. Sigh.

Lebaran kali ini aku home alone di Solo saja. Sebenarnya tidak home alone, soalnya ada adik yang juga gak ke Surabaya. Yang sowan ke tempat nenek di Surabaya hanyalah ayah dan ibu. Kenapa? Resiko pekerjaan. Bukan pekerjaan ayah dan ibu, dan juga bukan pekerjaanku. Tapi pekerjaan adik.

Secara kebetulan aku dan adik bekerja di perhotelan. Aku di Hotel Narita Internasional Surakarta, sedangkan adikku bekerja di The Sunan Hotel. Aku di bagian umum, dan dapet libur pas tanggal merah aja. Lumayan tanggal merah Lebaran kali ini adalah hari senin dan selasa, sehingga aku dapet libur tiga hari. Sedangkan adikku kerja di the Sunan sebagai Guest Relation Officer. Tidak dapet libur. Bahkan saat Shalat Ied pun adikku gak ikut karena harus masuk kantor.

Sebenarnya gak masalah sih. Toh ini adalah resiko pekerjaan. Hotel kan kalo liburan berarti duit. Apalagi The Sunan yang bintang empat, semua harus dikerahkan buat melayani para tamu. Apalagi shalat ied kan sunnah, jadi gak shalat ied gak apa2 lah. Hehehe...Masalahnya adalah sudah dua lebaran ini aku dan adikku gak sowan ke tempat eyang di Surabaya.

Lebaran tahun kemaren gak sowan ke tempat eyang di Surabaya soalnya.....gara2 aku. Aku kena flu pas malem takbiran. Dengan rencana berangkat ke Surabaya setelah shalat ied, batallah berangkat ke Surabaya karena sopir utamanya (aku dalam hal ini, hihihihi) terkapar.

Liburan lebaran sendirian di rumah. Ortu di Surabaya, adik ngantor, dan aku bengong di rumah. Untung sejuta untung, speedy sekarang sudah unlimited (walaupun dengan kualitas bandwith dan speed yang so-so aja). Jadi bisa deh puas2in berinternetan. Lumayan ada hiburan. Donlot filem. Facebook.

Akhirul kata: Taqabullahu minna wa minkum. Minal Aidzin wal faidzin.
Mohon dimaafkan segala kesalahan dan kekhilafan.
(awas kalo gak dimaafin!)

Cheers, everyone...

Jumat, September 04, 2009

Kejutan 30 Juli : A Harry Potter Fanfiction

Disclaimer: Semua milik JKR, Warner Bros, dan Bloomsbury, kecuali karakter Joe
Rating: PG-13
Genre: drama, romcom, humor
Note: Aku nggak yakin ini AU apa nggak, tapi ini jelas canon

Kementerian Sihir, London, 31 Juli, jam 15.23

"Potter! Kubunuh kau!", raung Phillip Devlin dari seberang ruangan.

"Silahkan saja," jawab Harry acuh tak acuh, seakan ancaman Devlin adalah rutinitas kantor,"aku toh perlu olahraga setelah belakangan ini cuma ongkang-ongkang kaki di belakang meja."

Devlin mengeluarkan tongkat sihirnya dan bersiap menyerang Harry. Sayangnya, karena lawannya adalah salah satu Auror terbaik Kementrian, saat tongkatnya baru separuh terangkat, Harry sudah menodongkan tongkatnya persis lima senti di depan hidung pegawai Departemen Permainan Sihir Kementerian Sihir itu.

"Nah, Mr Devlin," tanya Harry sambil tersenyum lebar,"bagaimana dengan ancaman anda tadi?"

Phillip Devlin hanya menggerutu, dan teman-temannya tertawa, termasuk sepasukan Auror di belakang Harry.

Sebenarnya apa yang terjadi di Kementerian Sihir sehingga Harry menerima ancaman pembunuhan dari rekan sekantornya itu? Ceritanya berawal dari sebulan yang lalu.


Anindya's, London, 5 Juli, sekitar jam 8 pagi.


Restoran masakan Indonesia di dekat Hyde Park itu sebenarnya belum buka jam 8 pagi. Tapi Joe si pemilik kaget saat datang ke restorannya dan menemukan seorang pemuda berkacamata dengan setelan kantor rapi sedang duduk membaca The Times.

"Halo, Joe!" sapa pemuda itu.

Darimana dia tahu nama panggilanku? Apa dia pelanggan lama? pikir Joe. Dia lalu melirik ke pegangan pintu masuk restorannya. Tidak ada tanda pendobrakan paksa, pikir Joe heran, lalu bagaimana caranya dia masuk? Dan kenapa alarmnya nggak bunyi?

"Jangan khawatir, Joe. Aku bukan penjahat. Aku masuk dengan sedikit sihir," ujar pemuda itu, seakan-akan dia bisa membaca pikiran Joe.

"Ah, jadi anda pesulap?" tanya Joe.

"Semacam itulah," jawab pemuda itu sambil nyengir lebar. Sebenarnya dia mengatakan dia masuk dengan magic, yang punya dua arti, sihir dan sulap.

Joe kemudian berjalan ke dapur dan memasang celemek kerjanya, dia punya firasat bahwa pemuda itu bukanlah orang jahat. Lagian kalau dia orang jahat, pasti nggak akan menunggunya datang dan menyapanya kan?

"Joe, punya menu sarapan, tidak?" tanya pemuda itu, "Butler-ku sedang cuti hari ini, dan aku kelaparan sebelum berangkat kerja."

"Ada, Sir. Anda mau nasi liwet khas kota Solo?" tawar Joe.

"Bolehlah."

Joe kemudian menyiapkan nasi liwet dan si pemuda melanjutkan membaca The Times. Tapi saat Joe melirik ke pemuda itu, nampak jelas kalau dia sedang gelisah. Duduknya tidak tenang, matanya tidak fokus pada satu artikel pun di koran tersebut, dan cara membalik halamannya pun dengan tergesa.

"Anda sedang ada masalah, Sir?" tanya Joe saat menghidangkan nasi liwet dan secangkir kopi ke pemuda itu.

"Ah, makasih. Yah, begitulah," jawab Harry sambil mulai menyantap sarapannya.

Joe sudah di dapur saat pemuda itu memanggilnya lagi. Dia berjalan menghampiri si pemuda itu. Sarapannya sudah ludes dalam sekejap.

"Joe, kamu sudah menikah belum?" tanya si pemuda itu keluar dari biru (maksudnya out of the blue). Joe agak terhenyak mendengar pertanyaan si pemuda itu.

"Maaf Sir, sebelum saya memberikan jawaban, bisakah anda memberitahukan kepada saya nama anda, karena saya sama sekali tidak dapat mengingat anda dan nama anda," elak Joe sambil mengulur waktu.

"Oh, my name is Potter. Harry Potter," jawab si pemuda sambil tersenyum.

Emang dia saudaranya James Bond, sampai cara memperkenalkan dirinya pun sama? pikir Joe sambil menjabat tangan Harry.

"Well, Sir. Sebenarnya saya belum menikah sama sekali, walaupun saya sekarang berumur 29 tahun. Orang tua saya di Indonesia juga sudah berkali-kali menanyakan kepada saya kapan saya akan menikah. Yah, belum ada jodohnya mungkin," kata Joe sambil tersenyum.

"Oh begitu. Yah, sebenarnya aku hendak melamar pacarku. Cuma aku nggak begitu tahu cara yang tepat melamarnya. Perempuan kalau hal-hal beginian kan sensitif. Mereka inginnya dilamar secara romantis, sedangkan aku sama sekali nggak romantis. Aku lebih suka menghadapi naga daripada harus menghabiskan semalam suntuk ber-candlelight dinner."

"Hmm..apakah pacar anda tahu tentang preferensi anda itu? Tentang 'lebih baik menghadapi naga daripada candlelight dinner bersamanya'?" selidik Joe.

"Yah, dia sih sudah tahu. Tapi tahu sendiri kan perempuan itu bagaimana? Mereka bersikukuh kalau lamaran nikah adalah peristiwa sekali seumur hidup, harus sangat berkesan bagi mereka. Aku tak mau mengecewakannya," kata Harry setengah murung sambil mengaduk-aduk kopinya.

"Kalau dia sudah tahu, itu keuntungan Anda, Sir. Anda bisa melamarnya dengan cara yang pasti akan dipahaminya," saran Joe.

"Begitu ya? Yah, mungkin kamu benar. Okelah. Makasih Joe atas nasihat dan sarapannya."

"Semuanya £ 15,30 Sir."

"Hah? Saranmu mahal sekali!"

"Tidak, Sir. Sarannya gratis. Cuma sarapan yang anda pesan yang tidak gratis. Sebenarnya cuma £ 10.30. Yang £ 5.00 itu karena anda datang sebelum jam buka," jawab Joe sambil nyengir lebar.

"Oh, yeah right. Nah makasih Joe," kata Harry setelah membayar dengan uang pas, yang kelihatannya seperti muncul dari udara kosong.

"Terima kasih kembali, Sir."


Godric's Hollow , 9 Juli, senjakala.

Harry sedang berlutut di depan makam kedua orang tuanya. Sudah setengah jam dia di sini. Sebuket bunga lili dan dahlia sudah tergeletak di nisan keduanya.

"Mum, Dad. Aku hari ini datang setelah sekian tahun. Apa aku sudah cerita tentang Ginny? Aku benar-benar berharap Mum dan Dad bisa bertemu dan mengenalnya. Dia gadis yang luar biasa. Tiada bandingannya. Sama sepertiku, tapi versi perempuan," Harry tersenyum saat mengucapkan ini, lalu melanjutkannya, "banyak sekali yang bilang dia beruntung mendapatkan aku sebagai pacarnya. Mereka semua salah. Akulah yang sangat beruntung mendapatkannya sebagai pacarku."

Harry terdiam sejenak. Matahari musim panas tidak seganas biasanya di desa kecil ini. Angin sepoi-sepoi berhembus sejuk membelai tengkuknya.

"Tapi aku tidak puas, Mum, Dad. Aku tidak puas hanya sebagai pacarnya. Aku ingin dia menjadi istriku, mengandung dan melahirkan anak-anakku, dan kami membesarkan anak-anak kami bersama. Maka dari itu aku datang kemari untuk memberitahukan kepada kalian, bahwa mungkin aku akan datang kemari beberapa bulan lagi, bersama Ginny sebagai istriku."

Setelah terdiam selama beberapa menit, Harry berkata," Mum, Dad, mungkin cuma itu saja yang hendak aku katakan. Aku bukan orang romantis, jadi aku nggak bisa bilang banyak hal kepada kalian, walaupun aku ingin. Salam untuk Sirius, Remus, Tonks, Professor Dumbledore, Fred, dan Severus."

Harry bangkit dan beranjak keluar dari pemakaman tersebut. Dia menyusuri jalan desa tersebut, yang menuntunnya menuju rumah keluarga Potter, rumah orangtuanya. Saat mengulurkan tangannya dia disambut oleh prasasti monumen tersebut. Harry mengayunkan tongkatnya dan prasasti tersebut menghilang. Harry melangkah masuk ke rumah keluarganya tersebut. Saat melangkahkan kakinya di dalam rumah itu, Harry membayangkan bagaimana orangtuanya hidup di zaman itu.

Dia sampai di sebuah kamar. Dibukanya pintu kamar tersebut dan tahulah dia kalau itu adalah kamar tidur utama, tempat orangtuanya tidur. Harry mengamati sekelilingnya. Matanya berhenti pada meja rias di seberang tempat tidur. Ada sebuah kotak disitu. Harry berjalan dan membukanya. Ada sebentuk logam di dalamnya. Harry memungut dan mengamatinya.

Sebuah cincin. Sederhana sekali desainnya. Cincin emas dengan mata berlian putih. Harry mengerutkan keningnya. Dia mengenalinya sebagai cincin kawin ibunya dari foto-foto pernikahan orangtuanya.

Tapi kenapa di kotak perhiasan? Kenapa Mum tidak mengenakannya saat Voldemort datang? Jawabannya langsung datang di kepalanya. Karena saat itu ibunya sedang mengasuh Harry. Dia tidak merasa perlu memakai cincin kawin karena tidak sedang bepergian, hanya ada suaminya dan Harry di rumahnya.

Tapi kok tidak hilang? pikir Harry lagi. Sekali lagi jawabannya langsung datang. Karena rumah ini tidak bisa dimasuki oleh Muggle. Dan tidak ada penyihir yang berminat menggerayangi rumah ini. Mereka takut Dumbledore memasang perlindungan yang kokoh di rumah ini, mencegah orang-orang yang tidak berkepentingan masuk. Walaupun tidak benar, tapi tidak ada penyihir yang berminat menjadi kelinci percobaan.

Harry tersenyum. Thanks, Mum. Cincin yang sempurna, pikir Harry.


The Burrow, 23 Juli, menjelang malam.

"Paman Hayyi!" seru Victoire kecil saat melihat Harry muncul di The Burrow. Dia langsung lepas dari gendongan Ginny dan lari menuju Harry.

"Halo Vic, sedang disini ya? Sama orangtuamu?"

"Hai Harry," sapa Bill dari ruang tengah. Fleur sedang di dapur, melambaikan sendok sayurnya sebagai ganti sapaannya.

"Gendong!" seru Victoire kepada Harry, lebih terdengar sebagai perintah daripada permintaan.

"Ogah!" jawab Harry sambil tersenyum menggoda ke Victoire.

Victoire langsung cemberut. Dia biasa dipatuhi kalau minta gendong. Baru kali ini dia ditolak.

"Mintanya yang sopan dong, Vic," tegur Bill sambil tersenyum.

"Paman Hayyi, boleh nggak Victoile minta gendong?" tanya Victoire sambil tersenyum manis.

"Ogah ah," jawab Harry berlagak cuek.

Sambil cemberut Victoire berlari ke dapur. Mereka mendengar Victoire merengek minta marshmallow karamel pada ibunya. Ibunya agak kewalahan menghadapi rengekan anaknya tersebut.

"Dia ngambek tuh," kata Ginny sambil tersenyum seraya menghampiri Harry. Dia nampak cantik dengan dandanannya yang kasual tapi rapi dan elegan. Harry menduga, walaupun meragukan kebenaran dugaannya, kalau Ginny minta nasihat kepada Fleur. Rupanya Ginny mempersiapkan sebaik mungkin dandanannya, karena jarang-jarang Ginny dan Harry bisa kencan keluar. Setahun pun bisa dihitung dengan jari tangan berapa kali mereka kencan.

"Biar aja. Sekali-sekali kan boleh," jawab Harry. Sedetik kemudian Victoire berderap memasuki ruang tamu lagi sambil membawa sepotong kecil marshmallow karamel.

"Ini buat Paman Hayyi!" kata Victoire sambil mengangsurkan marshmallow tersebut.

"Oh, terima kasih. Emmm....enak deh."

"Cekalang gendong Victoile, please!" tuntut Victoire lagi.

"Oh, jadi ini tadi bayaran buat menggendong kamu ya?" tanya Harry.

"Iya," jawab Victoire polos. Sambil tertawa Harry kemudian menggendong calon keponakannya itu. Victoile eh Victoire langsung tertawa riang digendong Harry. Ginny, Bill, dan Fleur tertawa melihat ulah Victoire.

"Kamu diajari berdagang gitu oleh siapa?" tanya Harry.

"Diajali Paman Joss!" jawab Victoire.

"Udahan ya!" kata Harry setelah menggendongnya selama dua menit. Victoire langsung cemberut lagi.

"Enggak mau! Kok cuma cebental?" tuntut Victoire.

"Kamu kan berat! Lagian Paman Harry sama Bibi Ginny mau pergi," jawab Harry.

"Mau kencan ya? Ikut!" seru Victoire.

"Nggak boleh! Lagian dari siapa kamu tahu kencan?" tanya Harry heran.

"Dali Bibi Helmayini," jawab Victoire, "jadi Vic boleh ikut?"

"Tetap nggak boleh!"

"Kenapa?" tuntut Victoire.

"Kamu bisa nggak mengikat tali sepatumu sendiri? Kalau bisa, Paman akan pergi sama Bibi Ginny saja. Kalau nggak bisa, Victoire tinggal di The Burrow ini sama orangtuamu," tukas Harry sambil tersenyum dan mengedipkan matanya. Bill, Fleur, dan Ginny tersenyum mendengar syarat dan hadiah yang dijanjikan Harry.

"Ahh, Vic nggak bica ikat tali cepatu!"

"Nah kalau gitu Paman Harry pergi sama Bibi Ginny saja ya?," jawab Ginny.

"Ahhh!" Victoire menjadi semakin manyun menggemaskan.

"Bye! Nanti Bibi bawakan marshmallow coklat deh!" rayu Ginny.

"Yang banyak ya!" tuntut Victoire.

Harry dan Ginny melangkah keluar. Ginny heran karena ternyata ada motor Sirius di halaman The Burrow.

"Kita akan naik itu?" tanya Ginny.

"Iya. Kenapa? kan bosan muter-muter terus ber-Apparate. Dan apa kamu nggak bosan menunggang Firebolt-ku?"

"Enggak. Enggak pernah bosan kok! Kan aku selalu menang naik Firebolt-mu itu."

"Yah, pokoknya aku bosan ber-Apparate, jadi kita naik motor aja."

Ginny mengalah dan membonceng di belakang Harry. Dalam sekejap motor tersebut membubung naik dan melesat membelah angin menuju ke arah yang diyakini Ginny sebagai London.

Harry benar, lebih enak naik motor, pikir Ginny sambil tersenyum saat memeluk Harry dari boncengannya. Walaupun dengan kecepatan segini, rambutku jadi berantakan lagi, lanjut Ginny dalam hati.


Leaky Cauldron, London, 23 Juli, 25 menit kemudian.


"Harry! Ginny!" seru Neville gembira menyambut Harry dan Ginny yang muncul di Leaky Cauldron.

"Hai, Professor Longbottom. Apa kabar?" sapa Harry sambil tersenyum lebar meledek Neville.

"Belum. Belum Professor Longbottom kok. Tapi besok September aku akan benar-benar jadi Professor di Hogwarts. Professor Sprout sudah menerima tawaran Menteri Shacklebolt untuk mengepalai Center of Herbology Research di Kementrian Sihir. Ini benar-benar hebat! Seperti hadiah ulang tahunku dimajukan!" jawab Neville riang.

"Oh, selamat ya Neville," sambut Ginny sambil tersenyum.

"Kalian mau dinner disini? Atau di Rukia's Cafe?" tanya Neville.

"Kayaknya disini saja deh!"

"Yakin?"

"Kenapa memangnya?"

"Disini nggak romantis. Sedangkan di Rukia's lebih romantis buat ehm..pasangan," jawab Neville sambil tersenyum simpul.

"Nev, aku Auror. Aku nggak suka dengan situasi dimana aku nggak bisa memantau keadaan sekelilingku. Suasana di Rukia's mendukung para penyihir hitam buat menyerang kami," tukas Harry setengah serius.

"Memang siapa yang akan menyerang kalian?" tanya Neville heran.

"Entahlah. Orang-orang yang dendam karena teman atau keluarganya kukirim ke Azkaban, atau orang-orang yang dibuat Ginny ini kalah bertaruh Quidditch. Berarti banyak sekali," jawab Harry santai sambil mengangkat bahu.

"Sekarang kamu paranoid," tuduh Neville.

"Memang. Dan itulah yang membuatku masih hidup dan sekarang menjabat sebagai pimpinan Divisi 3 (IntSpecOps) Auror Corps," tukas Harry, masih setengah cuek.

"Ah iya. Terserahlah. Omong-omong Mr dan Mrs Weasley juga sedang makan malam disini," tambah Neville.

"Hah?" tanya Harry terkejut.

"Lho, aku belum bilang ya? Mum dan Dad kan sedang keluar malam ini," timpal Ginny.

"Ya kamu sudah bilang. Tapi kamu nggak bilang kalau mereka juga makan disini!" tukas Harry setengah panik.

"Kenapa memangnya?" tanya Ginny heran.

"Ya, memang kenapa?" timpal Neville.

"Aku ingin berduaan saja sama kamu, Gin. Tidak dengan orang tuamu juga."

"Kalau begitu kita ke Rukia's?" tawar Ginny.

"Ogah. Kita ke tempat lain saja deh!"

"Baiklah, baiklah. Kamu jadi mirip Victoire, deh."

"Biarin. Sorry Nev. Kita nggak jadi makan malam disini," kata Harry memohon maaf ke Neville.

"Nggak apa-apa. Lagian aku juga mau berduaan sama istriku sejenak," jawab Neville sambil tersenyum mengantar Harry dan Ginny keluar dari Leaky Cauldron.


Trotoar di tepi Sungai Thames, London, 23 Juli, sekitar jam 10 malam

"Jadi, sekarang setelah kita menghabiskan kebab dan Cola kita serta sudah menikmati pemandangan Sungai Thames di malam hari, kamu mau melakukan apa sampai-sampai kamu nggak mau makan malam bersama Mum dan Dad?" tanya Ginny sambil menyedot Cola-nya.

"Aku mau menyewa kamar buat kita berdua, sayang ada Mr dan Mrs Weasley. Lagian Neville dan Hannah tidak menyewakannya buat short-time" jawab Harry cuek.

"APA?" seru Ginny sambil melotot, es krim sundae yang dipesannya sebagai dessert terlontar dari genggamannya. Beberapa pejalan kaki menoleh ke arah Ginny dan Harry.

"Becanda. Becanda. Kamu tahu kan, kalau aku nggak akan melakukan hal begituan?" jawab Harry sambil menenangkan Ginny, yang sekarang terlihat mirip Mrs. Weasley saat sedang marah.

Ginny cuma mendelik tidak yakin. Dia selalu yakin pekerjaan Auror sangat glamor, apalagi Harry adalah orang yang sangat terkenal di kalangan penyihir, yang mungkin akan mempengaruhi kepribadiannya. Banyak orang bahkan percaya hanya almarhum Albus Dumbledore yang bisa menyaingi ketenarannya. Sekarang saja ada banyak permintaan pada perusahaan produsen Chocolate Frog untuk memasukkan nama Harry ke dalam kartu koleksi penyihir, bersama dengan anggota Dumbledore's Army lainnya, antara lain Hermione Granger, Ron Weasley, Neville Longbottom, dan Ginny Weasley.

"Emm Gin?" tanya Harry setelah beberapa saat terdiam.

"Apa?" tanya Ginny setengah galak.

"Emmmm....."

"Apaan sih? Yang tegas dong!" tuntut Ginny, setengah jengkel setengah penasaran dengan Harry, yang tidak bersikap seperti biasanya.

Harry mengeluarkan kotak kecil dari sakunya, dan membukanya. Ginny melihat ada sebentuk cincin emas sederhana dengan mata berlian putih. Kesadaran akan arti tingkah aneh Harry langsung masuk ke benak Ginny. Is he going to do what I think he is going to do now? tanya Ginny dalam hati.

Harry nampak berpikir sejenak, kemudian berlutut di depan Ginny. He is, he's going to do it now! pikir Ginny setengah girang setengah panik.

"Maukah kamu menikah denganku, menjadi istriku, mendampingiku seumur hidupku, dan membesarkan anak-anak kita bersama-sama?" tanya Harry dengan sepenuh hati. Dia sudah melatih kata-katanya itu sejak sepuluh hari yang lalu secara intensif bersama Hermione, Ron, dan George di Weasley Wizard Wheezes. Ginny memerah wajahnya. Kegembiraan tidak bisa ditutupi dari wajahnya.

"Say YES!" seru beberapa orang di sekeliling mereka. Harry dan Ginny terperanjat saat menoleh ke sekeliling mereka. Rupanya mereka sedang ditonton oleh beberapa pasangan Muggle yang juga sedang melewatkan malam di trotoar sungai Thames. Harry dan Ginny semakin salah tingkah saat beberapa dari mereka bersuit dan bertepuk tangan.

"Emmmm...." Ginny tampak sedang berusaha mencari kata-kata yang tepat.

"Aww..come on! masa bilang 'yes' saja susah banget!" seru seorang pemuda Muggle dengan T-shirt bertuliskan "I Live in London but My Heart is in Anfield Forever!"

Akhirnya Ginny sepertinya menemukan kata-kata yang tepat.

"Harry, bisakah aku memikirkannya dulu?" itulah kata-kata yang keluar dari mulut Ginny. Para Muggle yang menonton mendesah kecewa, begitu juga Harry, yang masih berlutut di depannya.

"Kenapa? Apa kamu menolak lamaranku?" tanya Harry, kekecewaan tidak bisa ditutupi dari wajahnya.

"Aku tidak bilang begitu," tangkis Ginny lembut.

"Jadi kamu mau?" tanya Harry, semangatnya timbul kembali.

"Aku juga tidak mengatakan demikian," jawab Ginny sambil tersenyum.

"Apaan sih? Yang tegas dong!" tuntut Harry.

"Ada beberapa hal, enggg, yang harus kupikirkan saat aku menjawab lamaranmu ini. Tapi aku gembira sekali Harry, dengan lamaranmu ini."

12 Grimmauld Place, London, 25 Juli, sekitar tengah malam

"Apa yang Ginny pikirkan lagi?" tanya Ron.

Saat itu Ron sedang datang dan menginap di Grimmauld Place. Hermione sendiri tidak ikut. Dia tinggal di rumah orang tuanya di pinggiran kota Oxford.

"Entahlah. Dia mengatakan kalau ada beberapa hal yang perlu dia pikirkan," jawab Harry.

"Apa ya?" tanya Ron sambil mengunyah Chocolate Frog-nya.

Harry mengangkat bahunya. Dengan setengah murung dia meggoyangkan cangkir kopinya. Dia bahkan tidak ingat bagaimana caranya dia sudah sampai di Grimmauld Place setelah dia melamar Ginny.

"Eh, jangan-jangan....." ungkap Ron dengan sedikit ragu-ragu.

"Apa?" tanya Harry.

"Jangan-jangan dia punya cowok lain," ungkap Ron sambil melirik Harry takut-takut. Harry menyemburkan kopi yang sudah setengah berada di rongga mulutnya. Dia melotot ke Ron, yang sudah siaga dengan tongkatnya.

"Kenapa kamu bilang begitu?"

"Kan Ginny chaser paling terkenal di Inggris ini. Dia cantik, jago terbang, ramah. Banyak cowok yang pasti kepengen sama dia. Maksudku, kecuali cowok itu gay, nggak mungkinlah ada cowok yang nggak kepingin sama dia?" Ron membeberkan analisanya dengan yakin.

"Hmmm....masalahnya Ron, semua orang yang mengikuti English Quidditch Premiere League, pasti tahu kalo aku ini adalah tunangannya," jawab Harry, sedikit membesarkan dirinya sendiri.

"Betul juga. Atau jangan-jangan ada secret admirer dan Ginny sedang penasaran dengan si secret admirer itu?"

"Entahlah. Apa sebaiknya kita tanya Hermione saja? Ini kan masalah cewek, mungkin Hermione tahu sesuatu," usul Harry.

"Tidak aku sarankan," jawab Ron dengan pasti.

"Kenapa?"

"Sekarang hampir tengah malam. Dia pasti sudah tidur. Lagian sekarang adalah periode menstruasinya. Kamu pasti bakal dijadikan sasaran latihan mantra Sengat selama dua tahun kalau membangunkannya tengah malam begini untuk tanya hal-hal yang menurutnya kurang penting."

"Ini kan penting!"

"Tidak menurut Hermione. Menurutnya yang penting itu adalah penegakan hukum sihir, taraf hidup makhluk non-penyihir dan non-pembawa tongkat, serta aku, tunangannya. Kamu dan Ginny penting, tapi itu kalau tidak sedang menstruasi," jawab Ron kalem sambil meneruskan makan coklatnya.

"Oh, begitu," Harry duduk lesu kembali.

Sampai saat mereka tidur pun Harry masih memikirkan Ginny dan bertanya-tanya kapan lamarannya akan dijawab.


Kementerian Sihir, London, 31 Juli, jam 15.12.

Semua pegawai Kementrian Sihir memelototi monitor televisi yang ada di banyak sudut di gedung Kementerian Sihir. Mereka sedang menonton breaking news dari English Quidditch Pemiere League. Hari ini ada pengumuman dari Holyhead Harpies tentang chaser andalan mereka, Ginevra Weasley. Harry sedang di Markas Auror, yang berbagi lantai dengan Administrator Liga Quidditch.

"Ladies and Gentlemen, Miss Ginevra Weasley akan memberikan pengumumannya sesaat lagi," kata reporter olahraga WTV -Wizard Television.

Di latar belakang ada sebuah meja panjang untuk konferensi pers. Ginny muncul bersama kapten Harpies Byakuya Akagi dan manajer Harpies Deneb Almiron.

"Selamat Sore semuanya. Saya Ginevra Weasley akan memberikan pengumuman mengenai karir saya sebagai pemain Quidditch," Ginny berhenti sebentar untuk menarik nafas," emm selama beberapa waktu ini anda sudah mengetahui bahwa saya sudah bertunangan dengan Harry Potter. Dan selama itu pula banyak fans dan rekan pemain, baik dari satu klub maupun yang berbeda klub, bertanya kepada saya kenapa kami belum menikah. Jawabannya sangat sederhana, karena Harry belum melamar saya. Nah, beberapa hari yang lalu, Harry akhirnya memberanikan dirinya melamar saya....."

Terjadi kegaduhan, banyak wartawan, terutama wartawan gosip berebut mengajukan pertanyaan. Di Markas Auror keadaannya sama saja, Harry dirubungi banyak pertanyaan dari rekan-rekannya. Harry cuma menunjuk ke arah televisi. Mereka menoleh dan melihat bahwa Ginny siap melanjutkan pernyataannya setelah meminta para wartawan tenang sebentar.

"....beberapa hari lalu Harry melamar saya di tepi sungai Thames, dan ditonton oleh beberapa Muggles (banyak yang tertawa mendengar pernyataan Ginny ini). Saat itu saya meminta waktu untuk berpikir sejenak atas permintaannya tersebut. Nah, sekarang saya akan memberi jawaban atas lamaranmu, Harry, dimanapun kamu sekarang. Bertepatan dengan hari ulang tahun Harry, yang jatuh pada hari ini, maka saya akan melepaskan nama Weasley dan akan menggunakan nama Potter sepanjang sisa hidup saya....."

Terdengar riuh rendah suitan dan berondongan ucapan selamat dari rekan-rekan Harry, dan wartawan yang sedang mengelilingi Ginny.

"......maaf, masih ada lanjutannya (semua akhirnya tenang kembali, baik yang di televisi maupun di Markas Auror). Sehubungan dengan itu, setelah resmi menikah saya akan mengundurkan diri sepenuhnya dari Quidditch dan menjadi ibu rumah tangga...."

"Potter! Kubunuh kau!", raung Phillip Devlin dari seberang ruangan.

"Silahkan saja," jawab Harry acuh tak acuh, seakan ancaman Devlin adalah rutinitas kantor,"aku toh perlu olahraga setelah belakangan ini cuma ongkang-ongkang kaki di belakang meja."

Devlin mengeluarkan tongkat sihirnya dan bersiap menyerang Harry. Sayangnya, karena lawannya adalah salah satu Auror terbaik Kementrian, saat tongkatnya baru separuh terangkat, Harry sudah menodongkan tongkatnya persis lima senti di depan hidung pegawai Departemen Permainan Sihir Kementerian Sihir itu.

"Nah, Mr Devlin," tanya Harry sambil tersenyum lebar,"bagaimana dengan ancaman anda tadi?"

Phillip Devlin hanya menggerutu, dan teman-temannya tertawa, termasuk sepasukan Auror di belakang Harry. Mereka mulai mengucapkan selamat, baik ucapan selamat ulang tahun, maupun ucapan selamat karena akan segera menikah. Tapi seperti halnya Phillip Devlin, mereka menyayangkan pengunduran diri Ginny sepenuhnya dari arena Quidditch. Berarti Inggris akan mengecil kans mereka dalam Piala Dunia berikutnya. Harry hanya tertawa dan menerima ucapan selamat yang mengalir kepadanya sepanjang hari itu.

Jadi itu alasannya? Dia berniat memberikan kejutan ulang tahun dengan menerima lamaranku. Untunglah tebakan Ron meleset, pikir Harry sambil tersenyum.


Epilog
Godric's Hollow, 27 September, senjakala.


Angin musim gugur berhembus dengan dingin. Di pemakaman desa Godric's Hollow ada dua orang suami istri yang sedang mengunjungi sepasang makam.

"Hai Mum, Dad. Seperti yang kujanjikan waktu terakhir kali aku datang kemari. Hari ini aku datang bersama istriku, Ginny. Kami sudah menikah bulan Agustus lalu, tepat di hari ulang tahun Mrs. Weasley."

"Halo, Mr dan Mrs. Potter. Sekarang saya adalah putri anda. Terima kasih sudah melahirkan putra yang luar biasa ini. Saya akan menghabiskan umur saya bersama Harry. Saya benar-benar bahagia sekarang. Kami berjanji akan membimbing cucu-cucu anda supaya dapat membanggakan nama Potter dan Weasley."

Dua buah buket bunga lili dan dahlia lalu diletakkan di nisan James dan Lily Potter oleh keduanya.



Tamat


Catatan Penulis.

1. Soal Anindya's dan Joe, bacalah FF-ku sebelumnya, yaitu A Day with an Auror Cheesy. FF ini juga menjelaskan alasanku menulis kalau Ginny menggunakan Firebolt Harry. Tentang WTV juga.

2. Ada beberapa divisi dalam Korps Auror, antara lain Divisi 1 (EduCruit: Education and Recruitment), Divisi 2 (ResDeV: Research and Development), Divisi 3 (IntSpecOps: Intelligence and Special Operations), Divisi 4 (DetCorPun: Detention and Corporal Punishment, bertugas mengawasi Azkaban), dll.

3. Ini sebenarnya aku tulis untuk mengikuti Challenge 10: Ulang Tahun yang diprakarsai oleh Ambu, tapi karena kepanjangan maka aku batalkan dan aku buat thread sendiri. Aku membuatnya dalam waktu sekitar 5 jam.